
Masjid Kita
ANTARA HATIKU & MASJID AL - MU'ALIM
Masjid Al-Mu'alim berdiri kokoh di tengah kompleks sekolah. Bangunannya megah dan kehangatannya selalu menyelimuti siapa saja yang masuk ke dalamnya. Sebagai pusat spiritual bagi seluruh warga sekolah, masjid itu bukan sekadar tempat ibadah. Di dalamnya, ada jejak langkah yang penuh makna.
Pak Heri, pengurus masjid yang juga seorang guru, adalah sosok yang tak pernah absen mengumandangkan adzan. Setiap waktu dzuhur tiba, suaranya melengking lembut, menyapa hati-hati yang lelah dan mendamaikan riuh suasana belajar. Hari itu, seperti biasa, Pak Heri berdiri di sudut masjid, mengangkat kedua tangannya dengan khusyuk. "Allahu Akbar, Allahu Akbar…" gema suaranya melayang, memantul ke dinding sekolah dan menerobos jendela-jendela kelas.
"Anak-anak, ayo kita segera ke masjid," ujar Pak Mu'in, guru yang selalu menjadi imam sholat. Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang tidak bisa ditolak. Pak Mu'in adalah guru pendiam yang dihormati, sosok yang sujudnya panjang dan doanya senantiasa membuat hati bergetar.
Di lorong sekolah, terlihat bapak-bapak guru lain bergerak dengan penuh kelembutan. Mereka mendatangi setiap kelas, membimbing para siswa dengan sabar. "Nak, tinggalkan dulu bukumu, mari kita sholat berjamaah. Ilmu itu penting, tapi doa lebih utama," kata Pak Rahmat kepada seorang siswa yang masih mencatat di buku tulisnya.
Pelan-pelan, siswa-siswi itu beranjak, meninggalkan kelas dengan tertib menuju masjid Al-Mu'alim. Langkah mereka berpacu dengan hati yang masih dipenuhi urusan pelajaran. Namun, begitu memasuki masjid, ada suasana berbeda. Sejuk, tenang, dan penuh harapan.
Di saf-saf belakang, ibu-ibu guru sudah menempati tempatnya. Mereka duduk bersimpuh, beberapa memegang tasbih, sementara sebagian lainnya menundukkan kepala dalam doa. Di antara mereka, ada yang matanya sembab, basah oleh air mata. Hari ini mungkin ada beban yang begitu berat, ada masalah yang tak tersampaikan, atau sekadar rasa syukur yang meluap tanpa kata.
Pak Mu'in maju ke depan. Dengan suara rendah dan penuh kekhusyukan, beliau memulai sholat dzuhur berjamaah. "Allahu Akbar…" kalimat takbir itu menjadi pembuka sebuah ketenangan yang meresap.
Pak Heri berdiri di pintu masjid, memastikan semua berjalan lancar. Sesekali, ia melihat ke luar, menyapa siswa-siswi yang datang terlambat. Dengan lembut, ia membimbing mereka masuk. "Ayo Nak, bergabunglah. Sholat itu penyejuk hati."
Saat sholat usai, Pak Mu'in melanjutkan dengan doa yang panjang. Suaranya lirih, namun setiap kata seperti mengetuk pintu langit. "Ya Allah, jadikanlah kami insan yang kuat dalam belajar, dalam mengajar, dan dalam menapaki jalan-Mu…" Suara itu menyatu dengan isak tangis para ibu guru yang merunduk di sajadah mereka. Di sisi lain, para bapak guru menunduk khusyuk, menyimpan doa mereka dalam hati.
Anak-anak yang tadinya gaduh, kini duduk diam. Mereka mungkin tak sepenuhnya memahami kata-kata doa itu, namun suasana di masjid Al-Mu'alim selalu berhasil mengajarkan kedamaian pada mereka. Ada kelembutan yang diajarkan tanpa paksaan. Ada cinta yang disampaikan dalam diam.
Selesai sholat, suasana kembali hening. Siswa-siswi beranjak keluar, kembali ke kelas dengan langkah yang lebih ringan. Sementara Pak Heri, Pak Mu'in, dan guru-guru lainnya tetap berada di masjid sejenak.
"Bapak, terima kasih ya. Masjid ini benar-benar jadi rumah kedua kita," bisik Bu bu Umi kepada Pak Heri, sambil menyeka air matanya.
Pak Heri hanya tersenyum, lalu menatap masjid Al-Mu'alim. "Masjid ini bukan sekadar bangunan. Di sini, hati kita bertemu. Di sini, kita menyerahkan segala beban kepada-Nya. Semoga apa yang kita lakukan hari ini menjadi berkah untuk kita semua, Bu."
Hari itu, masjid Al-Mu'alim kembali menjadi saksi ketulusan hati para guru dan siswa-siswi sekolah. Tempat itu tak pernah sunyi dari doa, tangis, dan harapan. Di antara gema adzan, bacaan sholat, dan lembutnya ajakan guru, ada hati-hati yang selalu menemukan jalannya pulang.
Masjid Al-Mu'alim, tempat di mana setiap hati dipersatukan dalam sujud.
Cerpen Pagi hari di libur sekolah🙏🙏🙏